::::: Selamat Datang di Blogq ::::: ::::: Semoga kehadiran blog ini bisa bermanfaat bagi kita semua ::::: ::::: Terima Kasih :::::

Jumat, 06 Juni 2008

Semua di Tangan Presiden

Gerakan kaum liberal di Indonesia hanyalah ujung ekstrem dari ekstrem lainnya, kaum dogmatis. Adalah celaka jika pemerintah, dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, membiarkan dirinya terhisap oleh tarikan keduanya. Kasus bentrok di Monas pada Ahad (1/6) kemarin adalah cermin kondisi demikian. Presiden telah terjebak sehingga bentrokan itu terjadi. Jika memang harus ada yang disalahkan pada 'musibah' ini, Presiden-lah sebagai salah satu yang bertanggung jawab. Namun, kita tentu bukan hendak mencari siapa yang salah, tapi bagaimana mengurai kasus ini agar bangsa ini selamat.


Kejadian kemarin harus segera diselesaikan secara hukum. Setiap pelaku kekerasan harus dipenjarakan, entah itu dilakukan Komando Laskar Islam ataupun oleh Front Pembela Islam. Apalagi, nada eskalasi sudah terlihat. Di Cirebon dan Jember, terjadi penyerangan terhadap FPI.

Bahkan, sekjen organisasi kepemudaan siap bergerak menyerbu FPI. Sejumlah orang menyerukan pembubaran FPI. Terlihat gagah dan universal karena yang dihajar adalah 'Islam', yang sebetulnya kaum minoritas dan kaum terburu dalam dunia global kepemimpinan Barat. Kaum Barat selalu menyebut Islam tidak kompatibel dan bahkan mengotori dunia yang kini dihegemoni mereka.


Foto yang sempat beredar memfitnah Sdr.Munarman, padahal ybs sdg mencegah bawahannya utk tidak anarkis
Pemerintah Indonesia pun gemetar setelah diintervensi empat negara sehingga tak berani menyikapi Ahmadiyah. Seorang anggota Wantimpres bisa menghina seorang ulama di depan umum dengan kata-kata kasar: bunglon, tak tahu diri, dan semacamnya. Kita pun menyorakinya dengan takzim. Tak cuma itu, melalui kuasa uang bisa beriklan di mana-mana dengan menuduh yang lain sebagai ancaman terhadap Indonesia. Umat Islam dibenturkan dengan negara: suara usang dari rezim Soeharto. Paranoid dan jahat.

Paling gampang untuk bersuara dan bertindak 'bubarkan, penjarakan, tangkap, hukum mati' orang-orang berlabel Islam. Apalagi, cuma mengatakan 'mencederai kemajemukan dan tak sesuai nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan'. Bahkan, di Indonesia sekalipun. Partai-partai yang berkuasa, para jenderal di militer, media massa, dunia bisnis, ataupun aktivis LSM lebih banyak dikuasai oleh orang-orang yang jauh dari suara Islam. Mereka bisa saja beragama Islam. Tapi, mereka hidup dalam suasana yang lain atau tergiur oleh kucuran dana dan fasilitas beasiswa ataupun perjalanan ke berbagai negeri di forum internasional.

Namun, apa yang mereka lakukan hanyalah ujung ekstrem. Tentu saja, setiap ekstrem tak akan mampu menyentuh intinya. Ia hanya ada di permukaan. Karena, yang mayoritas sesungguhnya adalah yang diam. Jika kita membiarkan diri kita terus seperti itu, Indonesia pun akan sangat sulit maju dan sejahtera. Ketika kita menyelesaikan beragam soal, kita selalu bersikap elitis. Termasuk, soal BBM dan Ahmadiyah. Akibatnya, kita tergagap sendiri. Kita akan selalu menyalahkan mayoritas yang diam itu sebagai bodoh, pasif, malas, miskin, dan terbelakang. Maka, solusinya adalah kita memaksakan nilai-nilai kita, cara berpikir kita, dan dengan kecepatan yang biasa kita lakukan. Karena itu, kemerdekaan 1945, tumbangnya Sukarno, atau jatuhnya Soeharto tak menghasilkan apa-apa bagi mayoritas yang diam. Mereka tetap miskin, bodoh, dan terbelakang.

Saat ini, isu Ahmadiyah dibelokkan menjadi isu kebangsaan, kebhinnekaan, dan bahkan lebih sempit lagi menjadi isu FPI. Padahal, ini murni soal akidah Islam. Yang memutuskan pun MUI, bukan organisasi jalanan. Tak ada hubungannya dengan segala isu yang coba dibenturkan, apalagi dengan agama Kristen misalnya yang kini ikut-ikutan. Jika Presiden membiarkan soal ini berlarut-larut, konflik horizontal pun hanyalah soal waktu dan momentum. Tentu, kita tak menginginkannya. Kita ingin melihat, sekali-kali Presiden membuat keputusan berdasarkan aspirasi warganya.